Langsung ke konten utama

PILKADA TUMBAL NYAWA


PILKADA TUMBAL NYAWA



Pilkada merupakan kegiatan 5 tahun sekali atas dasar memilih calon pemimpin kepala daerah di dalam Negara Indonesia. Dalam agenda kegiatan pilkada ini dilakukan secara serentak se-Indonesia, sehingga rakyat Indonesia wajib berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Hal yang menarik dalam agenda kegiatan pilkada tahun 2020 ini sangat berbeda dengan kegiatan pilkada sebelum-sebelumnya. Dimasa pandemi Covid-19, agaknya pemerintah terlalu memaksakan akan melaksanakan pilkada ini, pemerintah terlalu ambisius untuk mengagendakan kegiatan ini supaya tetap berjalan seperti jadwal awal dalam perencanaannya. Padahal ada yang lebih penting untuk diurusi di tahun 2020 ini yaitu pemerintah belum berhasil memadamkan penyebaran Covid-19, sampai sekarang ini lonjakan penambahan kasus penularan di tanah air masih belum bisa dibendung. Seharusnya pemerintah rasanya agar lebih fokus dulu dalam penanganan Covid-19 ini. Dikarenakan dalam kegiatan pilkada ini rakyatlah yang berpartisipasi sehingga dikuatirkan bisa menimbulkan klaster baru dalam penyebaran Covid-19. Meskipun pemerintah membuat aturan kebijakan dalam kegiatan ini seperti menerapkan protokol kesehatan memakai masker ataupun memakai sarung tangan dan lain-lain, hal ini tidak serta merta bisa terhindarkan akan penyebaran penularan Covid-19 ini. Kita bisa melihat bahwa Covid-19 ini dampak yang paling buruk adalah  merujuk kepada kematian.

Padahal bukan hanya rakyat saja yang tertular virus ini, banyak juga pejabat Negara serta tokoh elit politik yang positif Covid-19 tersebut. Banyak contoh yang terjadi dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir ini bahkan ada juga calon peserta pilkada yang meninggal dikarenakan terindikasi positif Covid-19, dan juga ketua KPU RI Arief Budiman juga positif Covid-19. Ini menjadi pukulan telak kepada pemerintah, DPR, KPU dan pihak terkait lainnya yang masih kekeh dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Pemerintah seakan-akan buta dan tuli terhadap kasus yang tidak bisa dianggap remeh ini.

Kita lihat saja banyak Negara di dunia juga menunda aktivitas kegiatan pilkada atau pemilu yang digelar di negaranya tersebut. Seperti halnya Hong kong, pemerintah Hong Kong memutuskan untuk menunda selama satu tahun, penundaan tersebut dilakukan dengan alasan keamanan publik. Berbeda halnya dengan di Negara kita Indonesia, pemerintah kiranya malah mementingkan masalah politik dibandingkan publik.

Menelusuri lebih dalam akan agenda pilkada ini agaknya sudah banyak bukti menunjukkan bahwasannya kegiatan ini ditentang banyak terhadap kalangan masyarakat. Ormas Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah buka suara akan rencana pemerintah untuk melangsungkan kegiatan pilkada 2020, kedua ormas tersebut menolak keras akan adanya kegiatan tersebut. Sehingga pantasnya pemerintah dan pihak terkait lainnya seharusnya mendengarkan suara hati rakyat untuk menunda dulu pilkada 2020.

Perlu disoroti juga adalah kandidat paslon pilkada yang menggelar kampanye yang bertujuan mengumpulkan massa banyak supaya berharap mendapatkan atensi dari rakyat untuk menggalang suara. Banyak cara yang dilakukan dalam kegiatan kampanye ini, seperti yang saya lihat sampai sekarang ini biasanya berupa pengajian, blusukan ke desa-desa, ataupun yang lebih parah lagi adalah menggelar konser musik disaat pandemi ini, lucu juga beliau-beliau ini pura-pura bodoh atau gimana. Secara tidak langsung dalam kegiatan kampanye ini akan menimbulkan kerumunan yang berdampak terhadap penularan yang semakin tidak terbendung. Hal semacam inilah yang membuat penumpasan penyebaran Covid-19 menjadi tidak maksimal malahan bisa berakibat fatal membuat semacam klaster baru dalam penyebarannya.

Pemerintah, DPR, KPU, Bawaslu serta pihak terkait lainnya juga sepertinya lambat dalam merespon kegiatan kampanye ini, ketika semua rakyat sudah teriak-teriak pemerintah dan pihak terkait lainnya baru membuat kebijakan peraturan untuk sistem kegiatan kampanye yang diterapkan. Dari pemerintah sendiri membuat kebijakan melaksanakan mengatur kampanye menjadi model virtual yaitu dengan cara online yang memanfaatkan media sosial sebagai medium alat yang dipakai. Dalam hal ini akan menuaikan pro dan kontra.

Dalam hal pro, ini bisa menjadi semacam antisipasi cara untuk mengatasi kerumunan yang terjadi dilapangan, tetapi kita bisa lihat bahwasannya kampanye dengan menggunakan metode online semacam ini kurang efektif jika diterapkan di dalam lingkup pedesaan dikarenakan banyak permasalahan teknis atau non teknis seperti terkendala sinyal ataupun tidak mempunyai smartphone dan lain-lain.

Dan dalam hal kontra, ini malah lebih berbahaya dikarenakan memungkinkan banyak serangan buzzer politik yang akan menjelekkan satu sama lain kandidat paslon pilkada atau yang lain-lainnya. Padahal sebagai rakyat yang perlu diketahui dari para kandidat paslon adalah visi misi mereka ketika terpilih dan tujuan prospek kedepannya dalam membangun daerah yang dipimpin seperti apa, tapi itu hanya omong kosong yang tidak terlalu bisa diharapkan berlebihan, tetapi kendati demikian setidaknya agaknya penting dilihat visi misinya supaya bisa percaya terhadap kandidat paslon tertentu. Namun tak bisa dipungkiri memang begitu adanya media sosial kiranya dijadikan sebagai alat propaganda atau sebagai buzzer politik untuk saling menjelekkan satu sama lain. Sehingga yang awalnya pilkada sebagai pesta demokrasi menjadi semacam perang tanpa darah dengan menggunakan sentimen isu-isu untuk mendiskreditkan satu sama lain.

Sebaiknya dengan permasalahan ini harapan yang paling baik adalah ditunda dulu kegiatan pilkada, kita sebagai rakyat Indonesia kurang setuju dengan berjalannya proses demokrasi pilkada pada saat pandemi, karena sudah begitu jelas kegiatan ini akan melibatkan rakyat banyak dalam partisipasi politik. Kalaupun pemerintah masih bersikeras tetap menggelar pilkada pada saat pandemi, mungkin juga akan banyak dari kalangan masyarakat memprotes keras dalam permasalahan ini dan mungkin juga akan ada gerakan-gerakan penolakan dan ataupun gerakan golput untuk sebagai cara agar tidak terlibat dalam agenda pilkada tersebut. Sepatutnya sebagai lembaga tertinggi Negara, pemerintah seharusnya memfokuskan dulu dengan permasalahan penanganan mengatasi Covid-19, kalaupun pemerintah sudah berhasil memadamkan Covid-19 barulah persoalan yang lainnya bisa dijalankan seperti halnya kegiatan pilkada supaya bisa berjalan dengan baik tanpa menimbulkan permasalahan yang mengancam keselamatan rakyat Indonesia. 

Komentar